Januari 24, 2020 Soal Sejarah SMA Salah satu tokoh penting Angkatan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Alisyahbana. Di bawah ini termasuk hasil karyanya,kecuali…. A. Tak Putus Dirundung Malang B. Dian Yang Tak Kunjung Padam C. Anak Perawan Di Sarang Penyamun D. Layar Terkembang E. Setanggi Timur Pembahasan; Sutan Takdir Alisyahbana Hasil karya Sutan Takdir Alisyahbana, antara lain Tak Putus Dirundung Malang, roman tahun 1929; Dian Yang Tak Kunjung Padam, roman tahun 1932, Anak Perawan di Sarang Penyamun, roman tahun 1941; Layar Terkembang, roman tahun 1936; Tebaran Mega, puisi; Dari Perjuangan ke Pertumbuhan Bahasa Indonesia, tahun 1957; Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan. Jadi Salah satu tokoh penting Angkatan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Alisyahbana. Di bawah ini termasuk hasil karyanya,kecuali…. E. Setanggi Timur Setangi Timur merupakan karya dari Amir Hamzah About The Author doni setyawan Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih
Listento Puisi Aku Dan Tuhanku on Spotify. Dari saya yang senang membaca dengan suara.
Api Suci Selama nafas masih mengalun, Selama jantung masih memukul, Wahai api, bakarlah jiwaku, Biar mengaduh biar mengeluh. Seperti baja merah membara, Dalam bakaran Nyala Raya, Biar jiwaku habis terlebur, Dalam kobaran Nyala Raya. Sesak mendesak rasa di kalbu, Gelisah liar mata memandang, Di mana duduk rasa dikejar. Demikian rahmat tumpahkan selalu, Nikmat rasa api menghangus, Nyanyian semata bunyi jeritku. Sumber Tebaran Mega 1935Analisis PuisiPuisi "Api Suci" adalah sebuah puisi soneta karya Sutan Takdir Alisjahbana. Puisi ini mendorong pembacanya untuk menggenggam semangat dan semakin memperkuat melawan bait berikut"Wahai api, bakarlah jiwaku".Api dalam bait tersebut menggambarkan semangat; semangat yang dibutuhkan untuk menghadapi kesulitan dalam ini membawa pesan bahwa kebahagiaan atau kesedihan di dunia ini adalah sebuah ketentuan, namun kita tetap bisa bertahan dengan kekuatan semangat di dalam diri hal menarik dari puisi "Api Suci" karya Sutan Takdir Alisjahbana adalahMetafora api sebagai simbol semangat dan keberanian Dalam puisi ini, api digambarkan sebagai simbol semangat dan keberanian. Penyair meminta agar api suci membakar jiwanya, sehingga ia bisa mengaduh dan mengeluh. Metafora ini mencerminkan keinginan untuk hidup dengan penuh gairah dan antara kehangusan dan kehancuran Puisi ini menggambarkan bahwa dalam api yang menghanguskan jiwanya, terdapat kekuatan dan keindahan yang membara. Meskipun bisa menghabiskan dirinya, api suci dianggap sebagai rahmat dan nikmat yang memberikan arti pada dan ketidakstabilan emosi Penyair menggambarkan sesak dan desakan dalam hatinya, serta gelisah dan kebingungan yang mempengaruhi pandangannya. Hal ini menciptakan nuansa ketegangan dan ketidakstabilan emosional dalam sebagai ekspresi pribadi Puisi ini menunjukkan bahwa nyanyian adalah cara penyair untuk mengungkapkan diri dan mengeluarkan jeritannya. Puisi menjadi medium ekspresi yang memungkinkan perasaan dan pikiran dalam dirinya diungkapkan secara "Api Suci" menciptakan gambaran tentang semangat, keberanian, dan ketegangan emosional. Metafora api sebagai simbol semangat, kontras antara kehangusan dan kehancuran, serta penggunaan nyanyian sebagai ekspresi pribadi menjadi elemen yang menarik dalam puisi Api SuciKarya Sutan Takdir AlisjahbanaBiodata Sutan Takdir AlisjahbanaSutan Takdir Alisjahbana lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Takdir Alisjahbana meninggal dunia pada tanggal 17 Juli Takdir Alisjahbana adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
Puisibaru berdasarkan isinya yaitu : o Balada adalah puisi berisi kisah/cerita. o Himne adalah puisi pujaan untuk tuhan, tanah air, atau pahlawan. o Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam o Riwayat
Kumpulan Puisi Sutan Takdir Alisjahbana STA – Sutan Takdir Alisjahbana STA lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Beliau merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia. STA masih keturunan keluarga kerajaan. Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Ayahnya, Raden Alisyahbana yang bergelar Sutan Arbi, adalah seorang guru. STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935 yang masih berkerabat dengan STA. Dari Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti wafat tahun 1952 dan dikaruniai dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer menikah 1953 dan wafat 1994, STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana. STA sangat menghormati wanita, ia mengatakan bahwa wanita adalah motor penggerak dan pendukung dibalik kesuksesan seorang laki-laki. Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu 1921, STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung 1928, meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta 1942, dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia 1979 dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia 1987. Karirnya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka 1930-1933. Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe 1933-1942 dan 1948-1953, Pembina Bahasa Indonesia 1947-1952, dan Konfrontasi 1954-1962. Pernah menjadi guru HKS di Palembang 1928-1929, dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia 1946-1948, guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta 1950-1958, guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang 1956-1958, guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur 1963-1968. STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat. Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia 1936 dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang The Modernization of The Languages in Asia 29 September-1 Oktober 1967. Selain sebagai ahli tata Bahasa Indonesia, STA juga merupakan seorang sastrawan yang banyak menulis novel. Beberapa contoh novelnya yang terkenal yaitu Tak Putus Dirundung Malang 1929, Dian Tak Kunjung Padam 1932, Layar Terkembang 1936, Anak Perawan di Sarang Penyamun 1940, dan Grotta Azzura 1970 & 1971. STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di Indonesia. Rumahnya sangat asri dan penuh dengan tanaman serta pepohonan. STA membiarkan hewan-hewan ternaknya berkeliaran di halaman belakang rumahnya yang luas, seperti angsa dan ayam. STA mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, serta berenang di kolam renang yang dibuatkan oleh anak-anaknya untuk menjaga kesehatan tubuh. STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun. KEPADA KAUM MISTIK II Berderis decis jelas tangkas Tangan ringan tukang pangkas Menggunting ujung rambutku Jatuh gugur bercampur debu Aku melihat Tuhanku Akbar Ujung rambut di tanah terbabar Teman, aku gila katamu? Wahai, kasihan aku melihatmu Mempunyai mata, tiada bermata Dapat melihat, tak pandai melihat Sebab beta melihat Tuhan di mana-mana Di ujung kuku yang gugur digunting Pada selapa kering yang gugur ke tanah Pada matahari yang panas membakar KEMBALI Ketika beta terjaga di dini hari Melihat alam sepermai ini, Terasalah beta darah baru Gembira berdebur di dalam kalbu. Girang unggas bersuka ria, Gemilang sekar bermegah warna. Mega muda bermain di awang, Kemilau embun menyambut terang. Hidup, hiduplah jiwa, Turut gembira turut mencipta Dalam alam indah jelita. Jalan waktu terhambat tiada, Siang terkembang malamlah tiba Percuma dahlia tiada berbunga. SEMARAK ITU Laksana unggun tinggi menyala Engkau melintang di jalan kamas Menyerbu menyerah jiwa remaja, Tiada bertangguh tiada bersangsi. Dalam panasmu aku bertangas, Dalam sinarmu aku bercahaya. Hari lalu tiada berasa, Habis ria berganti bahagia. Selama itu sudah dipuja, Sekian waktu sudah dimanja Tinggallah beta sebatang badan. Alangkah hamba rasa sedunia Pujaan cinta semarak itu Tiadakan lagi mungkin tersua TIADA TERTAHAN Tanah dipijak serasa air, Dahan dipegang menjadi awang, Pandangan ke depan mengabut tebal, Menoleh belakang gulita semata. Terbang diri ditiup angin, Tiada berarah tiada bertuju, Terhempas ke bumi tertepuk ke batu, Kejam didera ganas disiksa. Ya Allah, ya Tuhanku, Benamkan beta ke laut dalam, Bakar beta di api nyala. Sangsi begini tiada tertanggung Di laut tidak di darat tidak, Segala penjuru kabut mengepung. SESUDAH DIBAJAK Aku merasa bajakMu menyayat, Sedih seni mengiris kalbu. Pedih pilu jiwa mengaduh, Gemetar menggigil tulang seluruh. Dalam duka semesra ini, Beta papa, apalah daya? Keluh hilang disawang lapang, Aduh tenggelam dibisik angin. Ya Allah, ya Rabbi, Hancurkan, remukkan sesuka hati, Sayat iris jangan sepala. Umat daif sekedar bermohon Semai benih mulia raya Dalam tanah sudah dibajak. API SUCI Selama nafas masih mengalun, Selama jantung masih memukul, Wahai api, bakarlah jiwaku, Biar mengaduh biar mengeluh. Seperti baja merah membara Dalam bakaran Nyala Raya, Biar jiwa habis terlebur, Dalam kobaran Nyala Raya. Sesak mendesak rasa di kalbu, Gelisah liar mata memandang, Di mana duduk rasa dikejar. Demikian rahmat tumpahkan selalu, Nikmat rasa api menghangus, Nyanyian semata bunyi jeritku. BETALAH TAHU Aku melihat mereka berjalan, Rapat dekat sesak menyesak. Mata bersinar kasih mesra, Muka berkembang cinta berahi. Suara merayu berbisik-bisik, Cumbu pujuk kata semata. Berlimpah bahagia kalbu remaja, Seluruh dunia rasa terlupa. Dalam gua batu jiwaku Tersenyum beta laksana arca Kecaplah hidup muda belia, Lezat nikmat sebanyak dapat, Betalah tahu, betalah tahu Turun tabir sesal menjelma. DALAM GELOMBANG Alun bergulung naik meninggi, Turun melembah jauh ke bawah. Lidah ombak menyerak buih, Surut kembali di air gemuruh. Kami mengalun di samud’raMu, Bersorak gembira tinggi membukit. Sedih mengaduh jatuh ke bawah, Silih berganti tiada berhenti. Di dalam suka di dalam duka, Waktu bahagia waktu merana, Masa tertawa masa kecewa, Kami berbuai dalam nafasMu, Tiada kuasa tiada berdaya, Turun naik dalam ’namaMu. RASA DIRI Alam segala rasa menjauh, Pikiran melayang tidak bertumpuh. Segala umat kabur mengasing, Terkatunglah diri terumbang-ambing. Seluruh dunia penaka musuh, Berkabut kacau rupa mengganjil, Membiar aku berjuang sendiri, Hilang hanyut tiada bertolong. Sejauh pandang gelombang semesta, Tiada pantai tiada daratan Menghimbau beta tempat berlabuh. Demikian Ani rasanya diri, Sejak kamas engkau tinggalkan, Tidak berkata tidak berpesan. KEPADA ANAKKU I Tiada tahukah engkau sayang, Bunda pergi melawat negeri Belum seorang pulang kembali, Ninggalkan kita sepi berempat? Mengapa engkau gelak selalu, Mengapa bergurau tiada ingat? Pada muka tiada berkesan, Pada bicara tiada bergetar Tiada tahukah engkau sayang, Tiada insyaf tiada ngerti Bunda pergi tiada kembali? Mengapa bicara sebijak itu, Mengapa tertawa gelak selalu? Air mata pilu kutelan. NIKMAT HIDUP Api menyala di dalam kalbu, Ganas membakar tiada beragak. Hangus badan rasa seluruh, Kepala penuh bersabung sinar. Malam mata tiada terpicing, Gelisah duduk sepanjang hari. Rasa dicambuk rasa didera Jiwa ’ngembara tiada sentosa. Ya Allah, ya Tuhanku! Biarlah api nyala di kalbu, Biarlah badan hangus tertuju. Api jangan Engkau padamkan, Mata jangan Engkau picakan, Jiwa jangan Engkau lelapkan. AIR MATA Ngalir, ngalirlah air mata, Aku tiada akan nahanmu. Apa gunanya aku halangi, Engkau ngalirkan penuh kalbuku Seperti air jernih memancar Dari celah gunung rimbun, Seperti hujan sejuk gugur Dari mega berat mengandung, Ngalirlah wahai air mata, Engkaupun mendapat hakmu Dari Khalik yang satu. Ngalir, ngalirlah air mata, Aku hendak merasa nikmat Panasmu ngalir pada pipiku. SEGALA, SEGALA Ani, ya Aniku Ani, Mengapa kamas engkau tinggalkan? Lengang sepi rasanya rumah, Lapang meruang tiada tentu. Buka lemari pakaian berkata, Di tempat tidur engkau berbaring, Di atas kursi engkau duduk, Pergi ke dapur engkau sibuk. Segala kulihat segala membayang, Segala kupegang segala mengenang. Sekalian barang rasa mengingat, Sebanyak itu cita melenyap. Pilu sedih menyayat di kalbu, Pelbagai rasa datang merasuk. APAKAH MAKNANYA Ani, Aniku, di mana engkau? Suaramu masih kudengar, Rupamu masih kulihat, Kemana melangkah engkau mengikut. Ani, Ani, mari kemari! Kamas hendak meninjau matamu, Setia dalam melihat padaku, Mana suaramu, mana gelakmu? Ya Allah, ya Tuhanku, Langkah lekas Kau ambil, Kau renggutkan dari sisiku. Apakah dosa maka begini Apa maknanya, apa gunanya, Ganas demikian menimpa diri? TAK MENGERTI Semuda itu lagi, Sebanyak itu cita dikandung, Sebesar itu harapan di dada, Segembira itu menyambut hidup. Mungkinkah kau Ni tiada lagi, Berjalan pergi tiada kembali, Merantau jauh tiada tentu Negeri mana tempat berhenti? Bunga mawar segar kembang, Girang sorak dijunjung tangkai Berderai gugur jatuh ke bumi Sekonyong-konyong tiada tersangka. Wahai Tuhanku maha tinggi, Petunjuk beta tak mengerti. MENUJU KE LAUT Angkatan baru Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat "Ombak ria berkejar-kejaran di gelanggang biru bertepi langit. Pasir rata berluang dikecup, tebing curam ditantang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega". Sejak itu jiwa gelisah, Selalu berjuang, tiada reda, Ketenangan lama rasa beku, gunung pelindung rasa pengalang Berontak hati hendak bebas, menyerang segala apa mengadang. Gemuruh berderu kami jatuh, terhempas berderai mutiara bercahaya, Gegap gempita suara mengerang, dahsyat bahna suara menang. Keluh dan gelak silih berganti pekik dan tempik sambut menyambut. Tetapi betapa sukarnya jalan, badan terhernpas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiadalah ingin, keterangan lama tiada diratap. Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat. KERABAT KITA Bunda, masih kudengar petuamu bergetar waktu ku tertegun di ambang pintu, melepaskan diriku dari pelikmu "Hati-hati di rantau orang, anakku sayang, Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir, Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung". Telah lama aku mengembara jauh rantau kejelajah, banyak selat dan sungai kuseberangi, gunung dan gurun kuedari. Beragam warna, bahasa dan budaya manusia, teman aku bersantap, bercengkerama dan bercumbu, lawan aku bertengkar dan berselisih. Di runtuhan Harapan dan Pompeyi aku ziarah, Dari menara Eifel dan Empire State Building aku tafakur memandang semut manusia. Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki aku bangga melihat kesanggupan umat berpikir, mengatur dan berbuat. Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia di Time Square di New York dan di Piccadily di London. Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta di gurun pasir dan batu Anatolia, sega Islandia yang megah di padang salju yang putih. Bunda, Pulang dari rantau yang jauh berita girang kubawa kepadamu, resap renungan petua keramat, sendu engkau bisikkan di ambang pintu Di mana-mana aku menjejakkan kaki, aku berjejak di bumi yang satu. Dan langit yang kunjung di mana-mana langit kita yang esa. Bunda, Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita kaya budi kaya hati, pusparagam ciptaan dan dambaan. AKU DAN TUHANKU Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan Berjuta tahun, tak berhingga lamanya Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu Setetes air dalam samudra tak bertepi Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku Aahh, Tuhan Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku Jauh mengatasi mahluk lain Kau cipatakan Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa Tidak tanggung tidak alang kepalang Ya Allah Ya Rabbi Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya sampai saat terakhir nafasku Kau relakan Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati Kepada keagungan kekudusan-Mu, Cahaya segala cahaya Dari berbagai sumber.. 377 235 283 238 154 380 205 275